Skip to main content
Starting-Up: why do we have to grow up?


Originally, I was planning to write this in English. But, I thought, there's enough stories about starting-up in English that I should write this in Bahasa Indonesia instead. This is a story about growing up. About a company that refuses to grow.


Beberapa waktu yang lalu saya melihat film (belum habis) tentang Peter Pan. Di sana diceritakan tentang seorang anak yang tidak mau menjadi dewasa. He refused to grow up. Saya membayangkan hal yang sama terjadi dengan perusahaan saya (INDO CISC) yang saat ini sedang tumbuh dari "taman kanak-kanak" menjadi "dewasa".

Perusahaan kami masih kecil. Saat ini baru berisi 8 orang. Pekerjaan utama kami adalah melakukan audit teknologi di bidang {network, information} security. (Sangat menarik, atau tepatnya ... lucu, melihat perkembangan akhir-akhir ini setelah situs KPU dihacked. Banyak yang tiba-tiba menjadi jagoan security.) Setelah beberapa tahun mencoba meyakinkan berbagai industri bahwa masalah keamanan merupakan masalah yang harus mendapat perhatian, baru tahun terakhir ini kami mendapat banyak pekerjaan. Kami pun mulai bersaing dengan perusahaan asing! (No need to mention names.) We know that we can beat them.

Waktunya untuk berkembang. It's time to grow up. Tapi, mengapa kita harus berkembang? Kami ingin tetap di taman kanak-kanak!

Tapi, menjadi dewasa bukanlah hal yang mudah. Sangat menakutkan. Terlebih-lebih setelah saya banyak membaca cerita-cerita "kegagalan" perusahaan start-up untuk menjadi lebih besar. Salah satu artikel yang baru saja saya baca adalah tulisan dari Eve Andresson yang berjudul Diary of a Start-Up: the rise and fall of ArsDigita and lessons from the world of venture capital. Artikel ini (dan link-link yang berhubungan dengan polemik atas tulisan tersebut) menceritakan pengalaman buruk mereka dalam mengembangkan perusahaan ArsDigita. Sekarang perusahaan ini sudah ambruk.

Selain artikel itu saya juga sudah baca buku tentang Jim Clark ("The New New Thing") yang mendirikan Silicon Graphics dan Netscape, atau cerita tentang berdirinya Cisco (anda tahu siapa pendiri Cisco? yang pasti bukan Chambers). Intinya sama. Tidak selamanya pendiri mendapatkan "kemenangan". Seringkali mereka ditendang dari perusahaan yang mereka dirikan. Ini membuat saya ketakutan.

Di satu sisi, tidak mungkin kita tetap di taman kanak-kanak. Suatu saat harus naik kelas menjadi SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. Tapi dunia taman kanak-kanak sangat menyenangkan. Mengapa harus kita tinggalkan?

Saat ini bekerjan di perusahaan kami ini sangat menyenangkan. Saya takut membuatnya menjadi "kantoran". Bagaimana saran anda?

Comments

Learn said…
Pak BR Yth.

Anda bilang: "Saat ini bekerja di perusahaan kami ini sangat menyenangkan. Saya takut membuatnya menjadi "kantoran". "

Berikut komentar saya:

Saya kira menjadi 'dewasa' sebagai sebuah usaha yang lebih profitable, lebih besar dan lebih mampu bukan berarti harus meninggalkan hal-hal yang menyenangkan. Juga bukan berarti harus menjadi 'kantoran'.

Di luar negeri ada Pixar, kemudian Google. Kedua perusahaan itu berkembang cukup dewasa dan kultur menyenangkan konon masih terasa.

Meski ada hal-hal dewasa yang akhirnya tidak bisa dihindari, yang harus mereka hadapi. Misalnya, IPO-nya Google atau cerainya Pixar dengan Disney.

Mungkin Pak BR bisa coba itu. Mempertahankan kultur menyenangkannya, tanpa berhenti untuk tumbuh.

Toh, agaknya, segala sesuatu harus tumbuh dan berkembang agar tetap hidup kan?
Anonymous said…
Beberapa kalimat anda bisa ditafsirkan berbeda. Menghindari salah tafsir saya pertegas dulu pemahaman saya.

1. Yang dimaksud besar (grown up) adalah angka sales. Bukan indikator lain, employee, geography, dll. Itu adalah parameter ikutan yang (pada dasarnya) bisa divariasikan.
2. Anda bukan berkeras ingin kecil. Melainkan ingin besar, hanya saja agak kuatir kalau menempuh strategi yang salah.

IMHO akar pertanyaan adalah bagaimana founder (ie. you) menempatkan bayi ini dalam pandangannya. Di ekstrim kiri founder ingin bayi ini tetap mainan yang dikendalikan sendiri seumur hidup (because it's such a lovely toy). Di ekstrim kanan founder hanya ingin kaya, dan sudah punya exit strategy membawa sekarung uang ke Karibia. You need to strike the right balance for you.

Keputusan ini menentukan jenis kapital yang pantas diundang untuk membiayai pertumbuhan. Di kiri pertumbuhan lambat, modal adalah loan didukung agunan (low risk capital). Di kanan pertumbuhan cepat, modal adalah private placement and ventures (high risk capital). Disini anda memerlukan pasal/ klausul2 perlindungan minority shares. Kesalahan awal dalam Article of Association akan berakibat fatal.

Salam,
Irwan Tampubolon.
Budi Rahardjo said…
Untuk memperjelas situasinya, yang saya maksudkan dalam berkembang itu adalah dalam jumlah orangnya. Masalahnya, dengan jumlah anggota tim seperti saat ini, kita tidak dapat mengerjakan pekerjaan lain. Sampai menolak pekerjaan! Tentu kami masih harus bekerja agar lebih efisien lagi. Tapi, lepas dari itu, nampaknya ada harus menambah jumlah orang. Begitu.

Oh ya, apakah salah satu bentuk dampak dari growing-up adalah naiknya billing rate? Apakah ada contoh perusahan sukses yang ratenya tidak berubah? URL, please.

Sebagai tambahan lagi juga, sejak dari awal kami sudah melibatkan venture capital. Untungnya, at least sampai saat ini, tidak seperti venture capital dalam cerita ArsDigita. Mudah-mudahan bisa bertahan seperti itu.

Terima kasih atas komentar dari rekan-rekan sekalian. Keep them coming supaya kita semua bisa belajar.

-- budi
Anonymous said…
Mas Budi,

Perusahaan jasa seperti IT consultant yang anda geluti memang kuncinya di HRM. Masalah billing rate itu akan menjadi image bagi perusahaan dimata stakeholder (terutama tenaga kerja spt. expert dan pelanggan). Semakin "atraktif" billing rate akan semakin menarik bagi tenaga ahli untuk tetap loyal disamping juga iklim kerja yang kondusif untuk kelengkapan jaminan kepuasan kerja. Dalam penetapan kompensasi harus melihat market rate, atau juga menentukan rate yang tidak underpaid atau overpaid, jadi about right.

Langkah mengundang venture capital kelihatan sudah tepat, namun untuk pertumbuhan jangka panjang tetap harus mengandalkan retained earning (laba bersih), itu akan lebih aman sebagai kapitalisasinya.

Dalam pengembangan start-up business, ciri entrepreneurship yang antra lain innovative dan risk taking harus menonjol. Sepertinya transformative business leadership akan sangat membantu pengembangan usaha ini.

Wassalam,

Ayi
Unknown said…
asslmkm wr wb.....
pak boleh sharing2 kan....
nih saya baru merintis usaha pembuat website...
mau tanya gmana advertise yg menarik and gak butuh duit banyak...
saya barusan ngerencanain nempel2 stiker di tiap warnet?
mohon saran dan bantuannya...
cz saya masih pemula(baru lulus sma)...

Popular posts from this blog

Himbauan Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia

Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia, Saya mengharapkan anda tidak melakukan penyerangan atau/dan pengrusakan situs-situs Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti bahwa akhir-akhir ini beberapa masalah di dunia nyata membuat kita kesal dan marah. Namun kekesalan tersebut sebaiknya tidak dilimpahkan ke dunia maya (cyberspace). Semestinya sebelum melakukan aksi yang berdampak negatif, kita bisa melakukan langkah-langkah positif seperti melakukan dialog (melalui email, mailing list, bulletin board, blog, dan media elektronik lainnya). Kita harus ingat bahwa kita hidup bertetangga dan bersaudara. Yang namanya hidup bertetangga pasti mengalami perbedaan pendapat. Mari kita belajar bertetangga dengan baik. Saya berharap agar kita yang hidup di dunia maya mencontohkan bagaimana kita menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan hati yang lapang, sehingga para pemimpin kita di dunia nyata dapat mencontoh penyelesaian damai. Mudah-mudahan mereka dapat lebih arif dan bijaksana

More bad news with Malaysia - Indonesia

I've got more emails and news about bad news between Indonesia and Malaysia. To be exact, there was a news about RELA (not sure what that is) that goes out after Indonesians in Malaysia. There were incidents where they hit Indonesians, rob, and do horrible things. I cannot even write this is my blog. I am so sad and frustrated. What's going on with Malaysia (and Malaysians)? What did we - Indonesian(s) - do to deserve this? I thought there should be less boundary between Indonesia and Malaysia. But ... What's going on there, bro & sis? You know, more Indonesians now feel that they are offended by Malaysians. I can tell you that this bad feeling is increasing. This is a bad publicity towards Malaysia. People are now creating various calling names, such as "Malingsia" (it's a short of "maling" [thief] "siah" [you, Sundanese]), and worse.

Say NO to APJII!

Prolog At the end of 1997, I went back to Indonesia from my studies and work in Canada. The .ID domain management in Indonesia at that time was in a confusing state. Nobody wanted to manage it. Universitas Indonesia (UI) - the original maintainer - was in a fight with APJII (the Association of Indonesian ISP). In the end, IANA gave me a mandate to manage the .ID domain. Since then, I manage the .ID domain with open management. There are problems, but mostly minors. Until recently, when APJII (again) is trying to take over the .ID domain management from my team. Here's a short info to give you a head start. Short summary APJII (the association of ISP in Indonesia) is trying to takeover the .ID domain management in Indonesia. They have tried and will try everything to take over. Long description I've been managing the .ID domain since the end of 1997. At that time, nobody wanted to run the domain management. First of all, a brief description of how we run things. To run the .ID d