Skip to main content

Belajar (teori) menulis - resensi buku Mohammad Diponegoro "Yuk, Nulis Cerpen Yuk"

Dalam tulisan sebelumnya, saya mengungkapkan kekesalan saya akan kualitas tulisan saya. Memang dalam hal tulis menulis, saya berangkat dari praktek tanpa teori, seperti seorang anak yang belajar berenang dengan langsung terjun ke kali bersama teman-temannya. Setelah beberapa kali meneguk air kali, ditertawakan kawannya, akhirnya bisa juga berenang. Gaya renangnya pun apa adanya. Tidak indah, tapi cukup untuk sekedar bisa berenang.

Nah, setelah bisa sekedar menulis, saya mulai belajar teori menulis. Ternyata banyak juga teorinya. Saya mulai mencari-cari buku yang cocok dengan selera saya. Salah satu buku yang sangat bagus adalah buku karangan Mohammad Diponegoro yang berjudul "Yuk, Nulis Cerpen Yuk", terbita Neo Santri, Yogyakarta.

Buku ini saya temukan tidak sengaja ketika sedang transit di Bandara Adi Sucipto. Sambil menunggu pesawat, saya melihat-lihat buku di toko buku di ruang tunggu. Buku yang berwarna hijau dan kuning ini menampilkan gambar muka seorang lelaki yang tertawa. Saya asumsikan ini gambar pak Dipo. Mestinya begitu, kan?

Sebelum membaca buku ini saya tidak kenal siapa itu Muhammad Diponegoro. Ternyata dia adalah seorang pencinta cerpen. Lebih dari 260 cerpen telah ditulisnya, baik itu cerpen original ataupun terjemahan. Selain itu dia juga menjabat sebagai pembaca cerpen di Radio Australia. (Setelah mengetahui betapa sulitnya menulis, saya menjadi lebih dapat menghargai orang yang bisa menulis dan membaca! Bagaimana cara memikat pembaca dan pendengar? Ini dua dunia yang berbeda.)

Yang menarik dari isi buku ini tentu saja isinya, bukan sampulnya. Poin yang disampaikan bergulir dari mulai yang mudah sampai ke yang lebih sukar. Tapi, semuanya ini disampaikan dengan gaya yang lucu dan mengalir. Bukan seperti buku kuliahan yang membosankan. Contoh-contohnya sangat mudah dimengerti sehingga saya sering menghadapi momen "oh iya ya". Dalam pandangan saya, yang membuat saya sangat tertarik pada tulisan pak Dipo ini adalah pemilihan katanya yang tepat dan lucu, khas orang Jogja. (Saya sedikit njeplak karena sesungguhnya saya tidak tahu kekhasan orang Jogja lho. Saya hanya numpang lahir di Jogja tanpa pernah merasakan tinggal lama di kota itu.)

Keragaman penggunaan kata ini ternyata salah satu kekurangan saya; kurang pustaka kata-kata! Kata-kata yang saya gunakan dalam tulisan saya biasanya itu lagi, itu lagi. Terlalu sederhana. Tentu saja pemilihan kata yang terlalu bervariasipun bisa berkesan sok. Walah...

Buku ini memang memberikan titik berat ke Cepen. Ternyata menulis cerpen lebih sukar daripada menulis novel karena terbatasnya tempat dan terbatasnya usaha untuk memikat pembaca. Untung saya mau menulis novel, bukan cerpen. Hah! Saya tahu, menulis novel juga tidak mudah. Kalau mudah, tentu saya tidak perlu bersusah payah mencari tahu teori menulis (fiksi). Toh sampai sekarang saya masih tertatih-tatih menulis.

Secara keseluruhan, buku karangan Mohammad Diponegoro ini saya sukai dan saya rekomendasikan. Informasi lain: penerbit NeoSantri, Mergangsan Kidul NG II/1233, Yogyakarta, Email: mustadhafin -at- lycos.com, HP: 081-328-771-999. Selamat mencari buku ini.

Comments

Ikhlasul Amal said…
Seingat saya, buku tersebut termasuk "klasik", satu angkatan setelah "Mengarang itu Mudah" tulisan Arswendo Atmowiloto (terbitan Gramedia). Saya sempat memiliki buku Arswendo tsb. dan agak terpengaruh oleh beberapa penjelasan yang dia tulis -- sekalipun belum bisa juga kuat dan memikat. Misalnya yang dicontohkan oleh Arswendo adalah gaya tulisan Chekov yang senantiasa menyediakan suspens. Konon suspens ini sangat penting.

Tentang Pak Dipo, waktu saya mengetahui buku tersebut diterbitkan, kurang tertarik. Karena waktu itu saya sudah terlanjur membaca tulisan Arswendo (juga) yang antara lain menyediakan "versi gaul" dari buku di atas menjadi "Menulis Cerpen itu Mudah", dimuat bersambung di majalah Hai. Selain itu alasan lain: saya merasa dunia penulisan fiksi terlalu jauh untuk saya jelajahi.

Beberapa kali mencoba kirim cerpen ke media cetak, saya gagal terus. Saya tahu jumlahnya masih kurang, karena untuk sampai dimuat perlu tahan banting puluhan kali.

Cerpen terakhir saya bernasib "mengenaskan" dan membuat muka memerah. Secara tidak sengaja lima halaman print out cerpen tsb. terbawa staf TU yang memfotokopi materi kursus Pemrograman Berorientasi Objek. Alhasil, satu kelas (sekitar 8 orang) menikmati cerpen yang jadi satu bundel dengan hand out tsb. Saya yang baru sadar menjelang akhir pertemuan sempat mematung beberapa detik! Sejak itu saya berhenti mencoba menulis cerpen.

Sekarang setelah ajeg menulis lagi, keinginan bermain-main dengan penulisan dalam bentuk lain muncul kembali. Barangkali ada saatnya nanti. Karena bisa "bosan" juga dengan tulisan non-fiksi dan sesekali ingin "refreshing" dengan menulis impian.

Cerita lainnya, saya sempat diberi tahu Mas Tomi Satryatomo, salah satu wartawan televisi tentang jurnalisme sastrawi. Jadi memaparkan laporan dalam bentuk "sastra", lengkap dengan penokohan dan suspens. Saya sempat diberi salah satu contoh yang diambil dari majalah cetak Pantau. Jika Pak Budi berminat dan barangkali belum baca versi cetaknya, saya bisa kirim lewat japri.

Mendongeng itu asyik, kok. Saya sepakat!
Ikhlasul Amal said…
Tambahan lagi:
ini ada catatan dari Bang Sjamsir Sjarif kalau ingin bermain-main dengan variasi penggunaan kata: sedia selalu kamus Bahasa Indonesia.

http://groups.yahoo.com/group/bahtera/message/23533

Saya pernah "ditertawakan": orang Indonesia kok perlu beli kamus Bahasa Indonesia. Duh! Apa orang Inggris juga tabu kalau punya Oxford Dictionary? :p
Budi Rahardjo said…
Cerita lainnya, saya sempat diberi tahu Mas Tomi Satryatomo, salah satu wartawan televisi tentang jurnalisme sastrawi. Jadi memaparkan laporan dalam bentuk "sastra", lengkap dengan penokohan dan suspens. Saya sempat diberi salah satu contoh yang diambil dari majalah cetak Pantau. Jika Pak Budi berminat dan barangkali belum baca versi cetaknya, saya bisa kirim lewat japri.
...
Boleh juga. Via email saja ya.
Anonymous said…
waah, bisa jadi inspirasi baru nih buat saya yang juga baru belajar meulis:). tapi, kalau termasuk buku klasik, akan sulit mencarinya ya?.
Budi Rahardjo said…
Wah, ternyata nama Mohammad Diponegoro sudah banyak dikenal orang? Ternyata memang saya ini masih kuper di dunia tulis-menulis. Jadi, memang masih pantas untuk belajar.
bank_al said…
Menulis itu memang mengasyikkan. Apalagi kalau pembaca tertarik dengan tulisan kita. Wong nggak ada yg baca aja tetep nulis kok. Buktinya kita jadi blogger, nekat nulis, dan nggak mikir perkara ada yg baca atau nggak.

Aku sendiri merasa hambatan menulis itu karena kita terbiasa menulis dengan EYD. Sementara EYD sendiri tidak cocok dengan gaya otak kita berpikir dan gaya bicara sehari-hari. Jadinya mentok terus deh itu tulisan walaupun dalma sehari2annya jagoan presenter seperti Pak Budi.

Selamat belajar menulis ya Pak. Dan jangan lupa pengalmaannya ditayang di sini. Khan aku bisa ikutan belajar dari pengalamannya Pak Budi. :D
Anonymous said…
Hello. Mr. Budi

It's a nice to read your post about my father. I'm one of Pak Dipo's son.

Please mail me at aryodiponegoro@yahoo.com, only if you don't mind...

Thanks...
Anonymous said…
Buku Pak Dipo yang sampulnya ditampilkan sama Sdr. Budi itu terbitan baru. Memang agak susah nyarinya. Tapi kalo tidak salah di Gramedia sudah ada. Terbitnya buku ini bersamaan dengan kumpulan cerpen Pak Dipo, judulnya pakai kata "Abah.... " (lengkapnya saya lupa).

Pak Dipo memang pengarang lama, sekarang sudah almarhum. Cerpen2 beliau dulu dibawakan sendiri sebagai sandiwara radio dalam siaran Bahasa Indonesia di Australia Broadcasting Commission (atau lebih dikenal dengan Radio Australia), di Melbourne.

anginbulanjuli@yahoo.com
Aryo Diponegoro said…
Saya ada rencana menerbitkan buku pak Dipo yang judulnya Yuk, Nulis Cerpen, Yuk... Doakan. Target edar Maret 2008 ini. Sekarang dalam rangka setting bukunya.

Btw rekan-rekan bisa klik ke http://www.masdipo.org untuk lihat karya Pak Dipo yang lain.

Popular posts from this blog

Himbauan Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia

Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia, Saya mengharapkan anda tidak melakukan penyerangan atau/dan pengrusakan situs-situs Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti bahwa akhir-akhir ini beberapa masalah di dunia nyata membuat kita kesal dan marah. Namun kekesalan tersebut sebaiknya tidak dilimpahkan ke dunia maya (cyberspace). Semestinya sebelum melakukan aksi yang berdampak negatif, kita bisa melakukan langkah-langkah positif seperti melakukan dialog (melalui email, mailing list, bulletin board, blog, dan media elektronik lainnya). Kita harus ingat bahwa kita hidup bertetangga dan bersaudara. Yang namanya hidup bertetangga pasti mengalami perbedaan pendapat. Mari kita belajar bertetangga dengan baik. Saya berharap agar kita yang hidup di dunia maya mencontohkan bagaimana kita menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan hati yang lapang, sehingga para pemimpin kita di dunia nyata dapat mencontoh penyelesaian damai. Mudah-mudahan mereka dapat lebih arif dan bijaksana

More bad news with Malaysia - Indonesia

I've got more emails and news about bad news between Indonesia and Malaysia. To be exact, there was a news about RELA (not sure what that is) that goes out after Indonesians in Malaysia. There were incidents where they hit Indonesians, rob, and do horrible things. I cannot even write this is my blog. I am so sad and frustrated. What's going on with Malaysia (and Malaysians)? What did we - Indonesian(s) - do to deserve this? I thought there should be less boundary between Indonesia and Malaysia. But ... What's going on there, bro & sis? You know, more Indonesians now feel that they are offended by Malaysians. I can tell you that this bad feeling is increasing. This is a bad publicity towards Malaysia. People are now creating various calling names, such as "Malingsia" (it's a short of "maling" [thief] "siah" [you, Sundanese]), and worse.

Say NO to APJII!

Prolog At the end of 1997, I went back to Indonesia from my studies and work in Canada. The .ID domain management in Indonesia at that time was in a confusing state. Nobody wanted to manage it. Universitas Indonesia (UI) - the original maintainer - was in a fight with APJII (the Association of Indonesian ISP). In the end, IANA gave me a mandate to manage the .ID domain. Since then, I manage the .ID domain with open management. There are problems, but mostly minors. Until recently, when APJII (again) is trying to take over the .ID domain management from my team. Here's a short info to give you a head start. Short summary APJII (the association of ISP in Indonesia) is trying to takeover the .ID domain management in Indonesia. They have tried and will try everything to take over. Long description I've been managing the .ID domain since the end of 1997. At that time, nobody wanted to run the domain management. First of all, a brief description of how we run things. To run the .ID d