Skip to main content

Fonts, fonts, dan fonts: mengapa saya masih pakai MS Windows

Saya tidak mengerti. Saya masih menggunakan Microsoft Windows meskipun saya sangat familier dengan GNU/Linux. Apa yang membuat saya masih tetap menggunakan MS Windows?

Aplikasi yang saya gunakan di sistem Windows juga tidak aneh-aneh: putty (untuk login ke Linux, kalau sudah di Linux tidak perlu lagi pakai putty kan), WinAmp (untuk mendengarkan lagu - di Linux pun ada ekivalentnya), BearShare (untuk cari MP3 - entah apa yang populer di Linux, tapi mestinya ada), OpenOffice (untuk menulis, ada di Linux), Microsoft Word (untuk menulis, bisa digantikan dengan OpenOffice di Linux), Mozilla Firefox (sudah ada di Linux). Jadi apa???

Setelah saya pikir-pikir, kemungkinan besar ada hubungannya dengan fonts. Ya, fonts. Saya memang penggemar fonts. Fonts freak. Begitu pasang Xwindow, biasanya yang saya pasang juga adalah program xfontsel.

Salah satu cara saya agar betah menulis dan membaca adalah dengan gonta-ganti fonts. Misalnya, untuk putty saya senang pakai fonts Cumberland. Kalau di Linux saya pakai fonts Sony*. Di Firefox saya pakai Geneva (untuk Serif) dan TypeWrong (untuk Sans-serif). Untuk menulis di wordprocessor saya paling sering pakai fonts Berling Antique. Saya masih mencari fonts yang sans serif yang bagus (yang biasanya dipakai untuk report-report di perusahaan besar atau di Majalah). Sekarang saya baru senang pakai Geneva di Windows.

Nah, problem saya di Linux adalah fonts-nya terbatas dan membingungkan. Beberapa waktu yang lalu sebelum saya upgrade Debian Linux saya, fonts di Galeon kelihatan bagus. Sekarang setelah saya update, fontsnya jadi jelek. Arrggghhhh! Demikian pula fonts OpenOffice di Linux sangat buruk tampilan di layarnya.

Bagaimana cara menambah fonts? Bagaimana mengkonversikan fonts-fonts true-type dan bitmap yang ada di Windows ke Xwindow? (Dulu saya sering mainan seperti ini. Tapi itu duluuuu sekali. Mestinya sekarang sudah ada utilities yang lebih paten?)

Selama masalah ini belum terpecahkan, saya masih tetap pakai MS Windows.

Comments

avianto said…
Font sans serif yang sering dipakai untuk report/majalah itu biasanya keluarga Futura, Univers dan Century Gothic. Tapi biasanya penggunaan font sans serif di report/majalah itu kalau artikelnya pendek2 (atau buat judul). Kalau untuk koran/buku biasanya pakai serif. (tapi ini cuma 'panduan' dan bukan 'aturan' =)).
jay said…
Font yang saya pakai di Linux selalu berpasangan, satu family (setidaknya mirip atau vendornya sama), misalnya Geneva, New York dan Monaco (ttf-nya bertebaran di internet, tapi saya tidak tahu lisensinya), hanya sayangnya Monaco terlalu renggang jarak antar karakternya, boros ruang. Geneva dan New York cukup elegan, sayang tidak ada versi bold dan italicnya.

Pasangan lain yang sering saya pakai juga adalah Lucida Sans, Lucida Bright dan Lucida Sans Typewriter (kalo menginstall JRE pasti dapet ttfnya).

Pasangan lain yang default tentunya Bitstream Vera (Sans, Serif dan Sans Mono) serta pasangan klasik Windows Verdana, Georgia dan Andale Mono.
Ariya Hidayat said…
Font yang tiba-tiba jadi rusak seperti itu bisa jadi disebabkan di FreeType-nya pilihan automatic hint-nya tidak diaktifkan. Debian updatenya tetap dari stable ke stable, kan?

Soal font, saya pribadi sudah cukup bahagia dengan Bitstream Vera (bisa diambil http://www.gnome.org/fonts/)

Untuk instalasi font, bisa pakai KDE Control Center (pilih System Administration, Font Installer).
Budi Rahardjo said…
Seperti saya katakan, saya ini memang font freak :(
Akibatnya saya tidak puas dengan font yang sudah ada (baik di MS Windows maupun di GNU/Linux). Dasar manusia bodoh. (I just want to use that term, because I just love Ada band's newest song. ha ha ha. The name of the song? You've guessed it: manusia bodoh.)

Ada seorang pengarang yang kalau dia menulis (dengan menggunakan mesin tik), dia menggunakan kertas yang berwarna warni. Katanya agar dia tidak bosan. Nah, mungkin saya seperti ini. Harus gonta ganti font, meskipun nantinya kalau sudah jadi tulisannya fontnya bisa menggunakan yang standar. Saya tidak peduli. (Toh nanti typesetter yang akan menentukannya.) Hanya pada waktu menulis, saya harus menggunakan fonts yang sesuai dengan hati. (Busyet. Did I say that?) Itu saja.

Saat ini saya masih kesulitan dengan font di Xwindow. Maklum, old dog. Susah diajari new tricks. Saya tidak terlalu suka pakai KDE atau GNOME. Biasanya saya pakai window manager yang ringan saja, misalnya fluxbox atau afterstep. Jadi tidak terbiasa dengan font management di KDE/GNOME.

Fonts of the heart kali ini adalah "Vrinda" dan "TypeWrong" (ini seperti Courier, tapi lebih mirip mesin tik - I am kind of partial with typewriter-like fonts).

Jadi ... masih butuh saran-saran nih.

-- budi
Ariya Hidayat said…
Untuk sistem yang ada fontconfig, kalau mau manual pasang fontnya tinggal: cp berkasfont.ttf ~/.fonts/
Selengkapnya bisa dilihat di dokumentasi XFree86 (cukup detil, kok). CMIIW rasanya OpenOffice.org versi terbaru juga langsung bisa pakai font yang diinstal dengan cara ini.

Font installer yang di KDE itu tidak cuman instal font untuk KDE saja (lagipula KDE Control Center bisa dijalankan di window manager apa saja, tinggal 'kcontrol' di terminal). Bisa dianggap sebagai GUI-based wrapper untuk langkah instalasi manual di atas, untuk kemudahan user (karena ada preview, dsb).
Priyadi said…
seperti yang sudah dibilang komentator sebelumnya, manajemen font di linux jaman sekarang sudah sangat mudah, tinggal copy ttf-nya ke ~/.fonts, beres, gak perlu aneh2 lagi...

yang jadi masalah mungkin kalau pak budi pakai window manager yang minimalis. pakai wm minimalis mungkin sangat sederhana dan ringan, tapi untuk urusan konfigurasi mungkin harus mau ngoprek 'jeroan'nya linux...

mungkin sebaiknya pak budi belajar suka gnome atau kde, paling tidak untuk urusan konfigurasi (sekarang fonts, mungkin lain kali masalah lainnya), setelah selesai urusan konfigurasi, pak budi bisa balik lagi ke fluxbox...

rasanya gak adil bandingin windows lengkap dengan explorer & control panelnya dengan linux tanpa gui-nya :)
Budi Rahardjo said…
Masih bingung nih. Tadi ngoprek fonts di Xwindow. Seperti yang disarankan, saya menambahkan beberapa fonts melalui GUInya KDE. Saya coba ganti fonts di Firefox, ada! Sip. Tapi ternyata fonts ini nggak muncul di OpenOffice. Jadi kemudian saya harus ngoprek di OpenOffice.

Menurut Help di OpenOffice saya harus menjalankan program spadmin untuk menambahkan fonts. Sudah saya jalankan dan fonts sudah ditambahkan. Tapi, fonts juga nggak muncul di OpenOffice. Wah beda lagi cara pengelolaan fontsnya?

Kemudian saya mau mengganti fonts yang ada di Konsole. Gak bisa juga. Fonts yang saya pasang gak ada yang muncul. Apa ada persyaratan khusus agar fonts bisa digunakan oleh Konsole? (Seperti di Windows, untuk terminal-like aplication biasanya hanya memperbolehkan fonts yang bitmap.)

Saya lihat di xfontsel (dan juga di xlsfonts) juga gak keluar fonts yang baru saya pasang.

Jadi gimana nih? Kok masing-masing punya pengelolaan fonts sendiri-sendiri? More hints please...
Budi Rahardjo said…
Progress... Konsole sudah berhasil mengenali fonts yang saya pasang setelah saya restart KDE session saya. (Mestinya nggak perlu?) Time to download more fonts!

Nah, tinggal OpenOffice yang belum berhasil.

PS: di gmail sekarang saya sudah berhasil menggunakan fixed-width (monospace) fonts. Jadi enak baca emailnya. Sekarang saya lagi gonta-ganti fontsnya. :)
Ariya Hidayat said…
OpenOffice.org-nya masih versi 1.0 ya? Versi berikutnya sudah mendukung Xft dan mengenali folder ~/.font itu.

Anyhow, cara lain instal font di OO adalah dengan menyalin file ttf-nya ke ~/.openoffice/user/fonts/ lalu jalankan (di folder tsb):
ttmkfdir -o fonts.scale
cp fonts.scale fonts.dir
fc-cache -v

BTW, di Debian rasanya ada tool 'defoma' untuk memudahkan instalasi font. Betul tidak?
jay said…
Jaman dulu manajemen font terpisah-pisah, aplikasi belum tentu merujuk ke font XWindow. Sekarang aplikasi sudah banyak yang merujuk ke fontconfig, jauh lebih simple.

Jika tidak menggunakan fontconfig berarti harus diinstall oleh XFS, buat font.dir dan font.scale di direktori font X sesuai petunjuk Ariya dan simpan di konfigurasi X-nya. Jangan lupa XFS tidak support fontname dengan karakter spasi, hilangkan spasi pada nama fontnya.
Anonymous said…
Wew ... masalah font yach, saya setuju kalau jenis font membuat kita betah menulis ... by www.udiniqgeek.com

Popular posts from this blog

Himbauan Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia

Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia, Saya mengharapkan anda tidak melakukan penyerangan atau/dan pengrusakan situs-situs Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti bahwa akhir-akhir ini beberapa masalah di dunia nyata membuat kita kesal dan marah. Namun kekesalan tersebut sebaiknya tidak dilimpahkan ke dunia maya (cyberspace). Semestinya sebelum melakukan aksi yang berdampak negatif, kita bisa melakukan langkah-langkah positif seperti melakukan dialog (melalui email, mailing list, bulletin board, blog, dan media elektronik lainnya). Kita harus ingat bahwa kita hidup bertetangga dan bersaudara. Yang namanya hidup bertetangga pasti mengalami perbedaan pendapat. Mari kita belajar bertetangga dengan baik. Saya berharap agar kita yang hidup di dunia maya mencontohkan bagaimana kita menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan hati yang lapang, sehingga para pemimpin kita di dunia nyata dapat mencontoh penyelesaian damai. Mudah-mudahan mereka dapat lebih arif dan bijaksana...

Say NO to APJII!

Prolog At the end of 1997, I went back to Indonesia from my studies and work in Canada. The .ID domain management in Indonesia at that time was in a confusing state. Nobody wanted to manage it. Universitas Indonesia (UI) - the original maintainer - was in a fight with APJII (the Association of Indonesian ISP). In the end, IANA gave me a mandate to manage the .ID domain. Since then, I manage the .ID domain with open management. There are problems, but mostly minors. Until recently, when APJII (again) is trying to take over the .ID domain management from my team. Here's a short info to give you a head start. Short summary APJII (the association of ISP in Indonesia) is trying to takeover the .ID domain management in Indonesia. They have tried and will try everything to take over. Long description I've been managing the .ID domain since the end of 1997. At that time, nobody wanted to run the domain management. First of all, a brief description of how we run things. To run the .ID d...

More bad news with Malaysia - Indonesia

I've got more emails and news about bad news between Indonesia and Malaysia. To be exact, there was a news about RELA (not sure what that is) that goes out after Indonesians in Malaysia. There were incidents where they hit Indonesians, rob, and do horrible things. I cannot even write this is my blog. I am so sad and frustrated. What's going on with Malaysia (and Malaysians)? What did we - Indonesian(s) - do to deserve this? I thought there should be less boundary between Indonesia and Malaysia. But ... What's going on there, bro & sis? You know, more Indonesians now feel that they are offended by Malaysians. I can tell you that this bad feeling is increasing. This is a bad publicity towards Malaysia. People are now creating various calling names, such as "Malingsia" (it's a short of "maling" [thief] "siah" [you, Sundanese]), and worse.