Skip to main content

Dimanakah para pemimpi (komputer) Indonesia tinggal?

Waktu kecil saya suka membaca komik silat, terutama karangan Kho Ping Hoo. Dalam cerita di dunia persilatan ada masanya seorang pesilat atau petarung menjelajah, turun gunung, berkelana untuk mengadu kemampuan. Terus terang pada mulanya saya tidak mengerti konsep ini. Mengapa kok orang mencari musuh? Mengapa tidak tinggal diam dan menikmati hidup? Apakah keangkuhan untuk disebut sebagai petarung terunggul demikian menariknya? Betapa sombongnya mereka. Ya, saya membaca terus tetapi tidak memahami maknanya.

Bertahun-tahun kemudian, atau lebih tepatnya baru-baru ini, baru terpikir oleh saya. Petarung tersebut tidak (sekedar) ingin disebut petarung unggul saja, akan tetapi mereka haus ilmu. Mereka ingin tahu apa yang baru. Bagaikan meneguk air laut, semakin banyak diminum semakin dahaga (katanya). Demikian pula dengan ilmu (apapun bidangnya), semakin mengetahui, semakin haus akan ilmu tersebut. Semakin ingin mencari kawan untuk bertukar ilmu.

Inilah yang saya alami saat ini. Berbagai buku komputer, majalah, jurnal, situs web saya baca dan telusuri. Sungguh dahsyat dan menariknya dunia perkomputeran ini. Saya tidak bicara sisi praktisnya, akan tetapi lebih ke sisi teoritis dan filosofisnya. Belum lagi anekdot, sejarah, biografi, dan segudang topik lainnya.

Sayangnya saya tidak menemukan kawan atau lawan di Indonesia ini yang bisa saya ajak untuk berdiskusi, bermimpi, menghayal tentang komputer. Kebanyakan para "pakar" berhenti bermimpi dikarena terperangkap dalam kesibukan sehari-hari seperti mengajar, membimbing, mroyek, dan menjadi birokrat. Dimana tinggalnya para dreamers?

Saya baru saja selesai membaca sebuah artikel biografi Robert W. Floyd, seorang pakar komputer yang mungkin tidak banyak dikenal. Artikel ini ditulis oleh Donald Knuth, seorang pakar komputer juga. Kedua-duanya adalah orang yang perfectionist. Jadi ini sebuah artikel tentang pakar komputer yang ditulis oleh pakar komputer. Luar biasa. Artikel tersebut muncul dalam jurnal IEEE Annals of the History of Computing, volume 26, number 2, April - June 2004. Salah satu kalimat yang menyentuh adalah sebagai berikut:


... Near the end of 1963, Bob (Floyd) came to visit me at Caltech, bringing fresh Maine lobsters with him on the plane. We spent several days hiking in Joshua Tree National Monument, talking about algorithms and languages as we went.
...
And we continued to exchange letters dozens of times with respect to this question of efficient networks for sorting. Whenever I had mail from Bob, I'd learn that he had gotten ahead in our friendly competition; then it was my turn to put TAOCP on hold for another day, trying to trump his latest discovery. Our informal game of pure-research-at-a-distance gave us taste of the thrills that mathematicians of old must have felt in similar circumstances, as when Leibniz corresponded with Bernoullis or when Euler and Goldbach exchanged letters.



Dan masih banyak cerita lainnya.

Jika anda kehilangan jejak maksud saya, inti yang ingin saya utarakan adalah adanya dua orang pakar yang berjalan-jalan dan ... tidak lupa membicarakan passion mereka, computer / mathematical science. Mereka saling belajar seperti halnya petarung yang saling menjajal jurus-jurus baru, atau seperti pemusik yang ber-jam-session.

Hal ini tidak terjadi di komunitas Indonesia. Mengapa? Apakah karena tidak ada passion? Para pakar (dosen misalnya) hanya menganggap bidang ilmunya sebagai pekerjaan atau alat untuk menghasilkan nafkah (melalui pengajaran atau penelitian yang tidak manfaat karena hanya sekedar mencari kum dan uang saja). Entah kemana hilangnya passion dan mimpi.

Pada akhir tahun 80-an, mungkin tahun 1987 atau 1988, saya membuat sebuah mailing list yang bernama pau-mikro. Milis ini membicarakan komputer (jaringan, sistem operasi, dan lain-lain) secara mendalam. Betapa menyenangkan melakukan diskusi-diskusi. Semenjak pulang ke Indonesia saya sudah tidak mengikuti milis itu lagi. Dan kalaupun ikut, ketertarikan saya sudah hilang sebab nilai kebaharuan, berita, signal to noise ratio sudah tidak cocok lagi dengan minat saya. Atau mungkin saya tidak lagi menyukai topik teknis detail? (Tidak juga. Saya masih menyukai programming.)

Saya kesulitan menemukan kawan / partner untuk diskusi.

Nampaknya saya harus melakukan pendekatan baru. Mungkin membuat sebuah milis komunitas baru? Mungkin anda berminat bergabung dan menyumbangkan satu dua jurus?

Comments

Anonymous said…
Saya bisa memahami apa yang digelisahkan oleh Mas Budi Rahardjo. Memang tidak gampang mencari wadah yang diramaikan oleh komunitas IT yang antusias mendiskusikan ide-ide, harapan-harapan, mimpi-mimpi tentang teknologi informasi dan digital di masa depan. Gaya obrolan boleh saja santai, tapi tetap serius. Kalau tidak, akhirnya hanya akan buang-buang waktu (dan bandwidth) saja.

Saya sendiri sampai saat ini masih sedang hunting milis IT (di Indonesia) yang rada serius, di mana saya bisa belajar banyak, ikut urun rembug, atau menumpahkan unek-unek. Selain opini, posting berita-berita terbaru tentu akan membuat milis jadi marak dan informatif. Tentu akan jadi sumber informasi yang berharga bagi para wartawan dan penulis IT untuk memperkaya wawasannya.

Kebetulan saya sendiri sedang menulis buku mengenai seluk-beluk Internet, dan salah satu babnya mengenai sejarah Internet di Indonesia. Salah satu sub babnya membahas mengenai dinamika milis IT di Indonesia. Terus-terang saya belum menemukan "daging" untuk bab itu yang menarik untuk ditulis, karena setelah saya ikutan milis-milis yang sudah ada, oh my God, topiknya aneh-aneh :-(

Namun, memang itulah resiko dari sebuah milis yang amat terbuka, di mana setiap orang berhak ngobrol apa saja. Tapi ini agak berbeda dengan milis-milis dari luar negeri, meskipun mereka juga ada yang bercanda, tapi tetap ada yang substansi yang diungkapkan. Isinya tak kalah seru. Bahkan, lazim saja seorang anggota milis berkomentar memulai emailnya dengan : "ini ide paling tolol yang pernah saya dengar..." tapi ia melandasi "serangan" itu dengan ide-idenya sendiri, argumen-argumennya.

Kalau ada yang berniat membuat milis semacam ini (atau sudah ada), dengan member yang mungkin sedikit, pls let me know. Sebab sayang sekali kalau kita tidak banyak memperoleh manfaat dari teknologi yang luar biasa mengagumkan ini.

Rgds,

Budi Putra
Desk Ilmu & Teknologi
Koran Tempo
Anonymous said…
kalau technomedia diharapkan jadi tempat para pemimpi komputer yang Pak Budi inginkan (dan untuk alasan itu juga diantaranya Pak Budi sedia bergabung), saya pikir selamanya tidak akan terwujud Pak.

di awal diajak pun, saya pahami arsip pertama tidak untuk dijadikan seperti itu technomedia. tidak rigid untuk para pemimpi komputer(dalam hal ini member wartawannya).

mungkin akan sedikit berbeda kalau member wartawannya adalah yang berasal dari media khusus komputer.

tapi, sebagian para anggota technomedia ini berasal dari media umum. saya pun, datang dari media ekonomi dan bisnis, yang ada rubrik TI-nya.

kendala terbesarnya, media umum menerapkan tour of duty berkala (rolling post liputan).

para reporternya lebih cenderung diarahkan untuk tahu semua hal, tapi tidak mendalam. kalo ada yg bisa tahu semua hal dan mendalam, ia mungkin termasuk kaum Indigo itu hehe.

saya, dengan kesadaran literacy saya soal TI yg masih sangat terbatas, dan menyadari technomedia yang saya pahami tidak ada untuk jadi milis para pemimpi komputer, akhirnya jadi pernah posting OOT. beberapa malah :))

dalam beberapa hal, saya menjadikan milis technomedia untuk tempat pelepas lelah, kemumetan, dan bergaul dengan rekan2 reporter yg mungkin tidak bertemu saat liputan, atau mungkin malah menyambung obrolan saat liputan.

tapi yang saya lihat, milis technomedia sebenarnya sudah berhasil dalam 'membumikan' TI.

paling tidak, para membernya dalam bbrp topik bisa mengobrolkan TI dengan bahasa gampang. harapannya tentu saja menular saat menuliskan artikel di medianya masing-masing.

concern saya soal mengapa TI belum merakyat di Indonesia sih itu, Pak. masih cenderung terlalu ekslusif hihi.

segitu saja dulu.

one
avianto said…
This comment has been removed by a blog administrator.
avianto said…
*maaf posting sebelumnya agak direvisi*

pak budi, count me in kalau ingin memulai 'gerakan berbagi mimpi' ini ya? lama-lama bosan juga dengan milis2 IT yang teknis (walaupun tetap diperlukan sih sebagai referensi dan sarana tukar ilmu). selama ini saya banyak diskusi seperti ini dengan orang2 yang mungkin pak budi kenal juga seperti yulian firdaus dan ikhlasul amal (pernah baca weblog mas amal ini: http://direktif.web.id/ ? isinya menarik dan layak didiskusikan ramai2) dan juga beberapa rekan lainnya (dunia kecil pak, orangnya itu2 juga).

pokoknya disambut positif deh pak budi soal bertukar mimpi =). soalnya saya sekarang lagi 'menyambung' ilmu di belantara Eropa dan terasa sekali bahwa disini unsur teoritis dan filosofis lebih kental dibandingkan dengan waktu di Indonesia (yang cenderung lebih teknis). jadi ditunggu gerakannya, saya senang sekali bila bisa ikut berpartisipasi.
Budi Rahardjo said…
Mas Avianto, untuk milis technomedia, memang saya hanya cross-post ke sana. Maksud dari tulisan saya bukan spesifik ke milis technomedia kok.
avianto said…
yang anonymous itu bukan saya loh pak =)
Dhani said…
Mas Budi, memang sih sulit sekali menemukan milis komputer yang menampung orang2 yg punya 'passion' terhadap komputer (atau sains scr umum). Kebanyakan milis isinya terlalu teknis atau malahan cuma berputar di topik yg itu2 saja.

Sejak bulan lalu, saya sudah mencoba mensetup milis yang yg inginnya bisa menjadi sarana untuk tukar informasi sains. Topiknya sih umum2 saja dan lintas disiplin. Saya tidak keberatan kalau milis ini juga dipakai sebagai tempat berbincang soal komputasi. Saat ini, milis tsb masih sepi. Kalau berminat, bisa dikunjungi websitenya:
http://groups.or.id/mailman/listinfo/sains-populer
Anonymous said…
Pak Budi,

silakan buka http://members.lycos.co.uk/anacondasmd

di index2nya saya baru mulai menulis mimpi2 saya sejak 2-3 bulan terakhir. mimpi yang siapa tahu bisa diwujudkan.

misalnya : bagaimana caranya govt kita care terhadap sistem kerja menggunakan komputer.

mungkin ada yang paling pokok, kenapa kita lebih sering berbicara teknis : kesejahteraan. Sehingga banyak yang berbicara teknis, menyelesaikan masalah-demi-masalah, bukan naik keatas lihat masalah secara keseluruhan dan memecahkannya untuk masa depan :)
Anonymous said…
Pak,

Para pemimpi asal Indonesia itu sudah pada ke luar negeri semua ... kuliah (dengan beasiswa & duit dari ortu).

Yang tinggal disini cuma ampas-ampasnya. Second rate engineers & scientists. Asset-asset intelektual bangsa ini di kan sedang kuliah di luar negeri.
Anonymous said…
Who are you referring to as "second rate engineers"? You fecking snobish foreign grads. You think you're better than us. Look at Mr. Bacharuddin Jusuf Habibie, that piece of an assh.... After messing around in Indonesia (especially during his presidency periods), he (irresponsibly) flew to Deutschland (and become a second class citizen there). What a selfish spastic halfwit. He's a foreign grad too, and he did nothing to contribute to development of his own country.
Budi Rahardjo said…
Dear anonymous user, regarding the "second rate engineers" you mentioned in your post, my post was aimed to all engineers in Indonesia regardless whether they are graduated from Indonesian universities or foreign universities. (My subjective view is that ITB is actually not bad compared to many foreign universities! but I am biased since I graduated from ITB.)

The environment in Indonesia seems to be the major cause of the problem I mentioned in my post. In Indonesia, we have to do many things at one time compared to our peers abroad. If we (Indonesians in Indonesia) were on the same playing field with our peers perhaps we can produce the same quality or even better! This is just unfortunate for us.

The approach that were taken by most of my peers is to do many things (even superficial ones) as long as they can produce more income. We are sacrificing dreams. As a result, we are becoming less competent in our fields. (I am facing this myself. My measurement is that it is difficult for me to follow deep technical papers!) Have a look at various mailing lists or dicusssions. They are all far from technical discussions.

Well, I want to change that. I want to experiment whether we can still live in Indonesia and be idealistic about it. (ie. still have and do dreams!) That has to start with me! (And I am having difficulties about it.) I will let you know how it goes.
Anonymous said…
Sir,

To which "anonymous" commenter your latest comment (to comment) was destined? There are 2 anonymouses.... Oh wait, now there are 3!
Budi Rahardjo said…
Ah yes, there are too many anonymous(es?) around here. heh heh heh. Awright then, you pick one.

I do hope that we can have serious discussion though. Perhaps in a separate mailing list? Or keep it in this blog?
Anonymous said…
mas budi, untuk berdiskusi teknis detail, silakan bergabung ke kiss@worldless.net :-)

setidaknya maunya saya seperti itu, walaupun kenyataan seringkali berseberangan dengan keinginan he..he..

cara bergabung:

To: listar@worldless.net
Subject:
Body:
subscribe kiss

Terus terang karena satu dan lain hal, saya jadi kurang begitu aktif di milis tsb. mung mas budi bisa membantu untuk membawa topik-topik diskusi segar.

Salam,

P.Y. Adi Prasaja
Anonymous said…
Menarik sekali post ini, sudah lama saya juga
mencari-cari lawan diskusi teknologi yang tidak hanya
membicarakan detail teknis, tetapi juga dari
underlying philosophy behind it.

Stephen Hawking once said in his book, The science
field has become too technical for the lay
person to understand. In the last paragraph of
the last chapter in "A Brief History of Time"
he wrote that if we can combine all the physics
theory (The Grand Unified Theory), then it is the ultimate win of the humankind, because then we
know the mind of God. To reach this conclusion,
he has to have a deep understading of how the
universe is formed, including the nitty gritty
theoretical physics behind it. The lay person
who doesn't have a Ph.D in astrophysics is just
helpless because he just read the conclusion,
but haven't yet digested the enormous theoretical physics behind it

It looks like Mr. Budi has nearing the top of the
pyramid in the Maslow's hierachy of needs which is
self-actualization ;-)
PAU-Mikro in its early days made a lot of interest
for you because not many Indonesians yet got on the Net. Like it or not, often subconsciously, the value of a group is based on exclusivity, much like the
so-called Mensa's elitism ;-) In its early days,
the number of Indonesian electronic mailing lists
can be counted by a single hand, and PAU-Mikro was
one of them. The early members were typically Indonesian postgrad students who are studying in
north America on scholarship, Internet and Linux
was in its early days and with the things that
have a lof of future potential, this generates
a lot of excitement of what may become in the
near future (which is now). Once the idea is
realized and implemented, usually people start
to take it for granted. Much like after 50 yrs
or so people are not amazed anymore than in the early days of telephone -- nowadays we take email and web browsing for granted, but it was not so 10 yrs ago.
Eg. now I can download lecture notes, tutorial, labs,
even submit programming assignment online which
if you come to think of it 10 years ago, it's pretty
amazing, but not so anymore now.

Actually I think easy blogging with commenting
system like this is a good start for discussion imho.
Imho it has a better signal-to-noise ratio than
a mailing list. Somehow generally it forced people
to think more about what they write, instead of
just a "I agree too" post. Especially it really
helps if it get started from a quality writing
from Mr. Budi :-)
Anonymous said…
very good idea, how about start to define
the topic and create the list now?
Anonymous said…
hwoaaaa ikut ... *ndaru*
Budi Rahardjo said…
Memang nampaknya grooming dari mahasiswa sendiri juga bisa. Tapi masalahnya, biasanya mahasiswa setelah lulus susah lagi diajak diskusi. Waktu masih mahasiswa juga susah diajak diskusi yang kayak gini karena sibuk dengan urusan masing-masing.

Ada juga sih mahasiswa yang sempat bisa diajak diskusi macem-macem. Tapi sudah ngilang. Entah sudah lulus atau anjlok sekolah.
Anonymous said…
> Saya kesulitan menemukan kawan/
> partner untuk diskusi.

> Nampaknya saya harus melakukan pendekatan baru. Mungkin membuat
> sebuah milis komunitas baru? Mungkin anda berminat bergabung dan
> menyumbangkan satu dua jurus?

Salam kenal bung GBT...

Senada dengan anda bung..

Walau saya bukan programmer (visual basic) yang expert, saya juga kesulitan menemukan komunitas vb indonesia yang kemampuannya cukup bagus.. Kalo saya pengen nanya tentang sesuatu masalah terpaksa harus ngungsi ke forum2x luar...

hiks2x...
ayo bangkit indonesia...

Regards,

dj
Anonymous said…
Saya siap menjadi partnernya pak.
sewsya said…
hai salam kenal semuanya, bolehkah saya bertukar link, http://sewa-ac.viviti.com :x

Popular posts from this blog

Himbauan Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia

Kepada Hacker & Cracker Indonesia & Malaysia, Saya mengharapkan anda tidak melakukan penyerangan atau/dan pengrusakan situs-situs Indonesia dan Malaysia. Saya mengerti bahwa akhir-akhir ini beberapa masalah di dunia nyata membuat kita kesal dan marah. Namun kekesalan tersebut sebaiknya tidak dilimpahkan ke dunia maya (cyberspace). Semestinya sebelum melakukan aksi yang berdampak negatif, kita bisa melakukan langkah-langkah positif seperti melakukan dialog (melalui email, mailing list, bulletin board, blog, dan media elektronik lainnya). Kita harus ingat bahwa kita hidup bertetangga dan bersaudara. Yang namanya hidup bertetangga pasti mengalami perbedaan pendapat. Mari kita belajar bertetangga dengan baik. Saya berharap agar kita yang hidup di dunia maya mencontohkan bagaimana kita menyelesaikan permasalahan dengan kepala dingin dan hati yang lapang, sehingga para pemimpin kita di dunia nyata dapat mencontoh penyelesaian damai. Mudah-mudahan mereka dapat lebih arif dan bijaksana...

Say NO to APJII!

Prolog At the end of 1997, I went back to Indonesia from my studies and work in Canada. The .ID domain management in Indonesia at that time was in a confusing state. Nobody wanted to manage it. Universitas Indonesia (UI) - the original maintainer - was in a fight with APJII (the Association of Indonesian ISP). In the end, IANA gave me a mandate to manage the .ID domain. Since then, I manage the .ID domain with open management. There are problems, but mostly minors. Until recently, when APJII (again) is trying to take over the .ID domain management from my team. Here's a short info to give you a head start. Short summary APJII (the association of ISP in Indonesia) is trying to takeover the .ID domain management in Indonesia. They have tried and will try everything to take over. Long description I've been managing the .ID domain since the end of 1997. At that time, nobody wanted to run the domain management. First of all, a brief description of how we run things. To run the .ID d...

More bad news with Malaysia - Indonesia

I've got more emails and news about bad news between Indonesia and Malaysia. To be exact, there was a news about RELA (not sure what that is) that goes out after Indonesians in Malaysia. There were incidents where they hit Indonesians, rob, and do horrible things. I cannot even write this is my blog. I am so sad and frustrated. What's going on with Malaysia (and Malaysians)? What did we - Indonesian(s) - do to deserve this? I thought there should be less boundary between Indonesia and Malaysia. But ... What's going on there, bro & sis? You know, more Indonesians now feel that they are offended by Malaysians. I can tell you that this bad feeling is increasing. This is a bad publicity towards Malaysia. People are now creating various calling names, such as "Malingsia" (it's a short of "maling" [thief] "siah" [you, Sundanese]), and worse.