Kualitas lulusan Perguruan Tinggi Indonesia menyedihkan?
Saya baru saja selesai melakukan interview untuk sebuah perusahaan. Ada lebih dari 130 orang yang kami interview. Saya sendiri menginterview setengahnya dari itu. (Kami bagi menjadi dua tim.) Yang diinterview kebanyakan adalah yang baru lulus (fresh graduate) dari perguruan tinggi (ada yang S1 dan D3) yang terkait dengan komputer (ilmu komputer, teknik elektro, fisika, matematika).
Satu hal yang ternyata muncul dan berulang adalah mahasiswa sekarang lebih banyak yang pasif. Artinya mereka hanya pergi kuliah dan belajar dari apa yang diberikan di kelas saja (which is not much!). Mereka kurang motivasi untuk mencari hal-hal lain di luar ruang kuliah, seperti misalnya membaca majalah (banyak majalah komputer), eksperimen (mencoba install Linux atau Windows, merakit komputer, memasang jaringan).
Alasan yang mereka kemukakan macam-macam. Tidak ada fasilitas lab komputer merupakan salah satu alasan yang dipakai mahasiswa dari luar pulau Jawa. Banyak kuliah pemrograman komputer yang hanya diajarkan dengan cara ditunjukkan cara pemrogramannya oleh dosen yang bersangkutan di kelas tanpa ada praktek. Bagaimana mahasiswanya bisa mengerti tanpa mencoba? Dua pelajaran yang bisa kita petik: harus ada peningkatkan fasilitas di perguruan tinggi di luar pulau Jawa, dan betapa beruntungnya mahasiswa di pulau Jawa (sayang mereka tidak mengerti hal ini dan take it for granted).
Alasan lain yang muncul adalah tidak punya biaya. Betul, tapi ini sebetulnya tidak bisa dijadikan alasan. Mereka dapat mencari cara untuk mencari fasilitas ini dengan gratis. Cari kawan yang kaya dan tempel. Cari kawan / saudara yang punya warnet dan ikutan. Cari laboratorium dan ikutan voluntir. Cari dosen dan ikutan magang mroyek. Banyak jalan menuju Roma. Sayangnya kebanyakan mahasiswa tidak tertarik untuk pergi ke Roma.
Ada lagi alasan karena sibuk kuliah. Nah lho! Nampaknya perguruan tinggi asyik memadatkan kurikulumnya, agar mahasiswa cepat selesai? tapi tanpa melihat efeknya. Percuma mereka cepat selesai akan tetapi tidak terpakai. Bahkan menurut opini saya, ini menjerumuskan mereka karena status mereka bukan lagi sebagai mahasiswa dan mereka dipaksa untuk mencari pekerjaan dengan kemampuan seadanya. Status sebagai mahasiswa ini penting secara psikologis dan praktis. Mahasiswa masih memiliki alasan untuk mengambil kursus-kursus (teknis, Bahasa Inggris) dengan tenang tanpa ada tekanan (dari orang tua dan masyarakat?) untuk cepat-cepat kerja dan menghasilkan uang. Status mahasiswa juga bisa dipakai untuk kerja di lab kampus. Begitu status mahasiswa lepas ... maka sulit bagi mereka untuk melakukan hal itu. Keberatan gelar!
Oh ya lupa. Kemampuan bahasa Inggris rata-rata payah! TEOFL mungkin sekitar 400-an saja. Guys, you have to learn English. I am sorry to say that English is still the de facto communication language out there.
Mudah-mudahan tulisan ini dibaca oleh para mahasiswa dan dosen. Semoga bermanfaat.
Saya baru saja selesai melakukan interview untuk sebuah perusahaan. Ada lebih dari 130 orang yang kami interview. Saya sendiri menginterview setengahnya dari itu. (Kami bagi menjadi dua tim.) Yang diinterview kebanyakan adalah yang baru lulus (fresh graduate) dari perguruan tinggi (ada yang S1 dan D3) yang terkait dengan komputer (ilmu komputer, teknik elektro, fisika, matematika).
Satu hal yang ternyata muncul dan berulang adalah mahasiswa sekarang lebih banyak yang pasif. Artinya mereka hanya pergi kuliah dan belajar dari apa yang diberikan di kelas saja (which is not much!). Mereka kurang motivasi untuk mencari hal-hal lain di luar ruang kuliah, seperti misalnya membaca majalah (banyak majalah komputer), eksperimen (mencoba install Linux atau Windows, merakit komputer, memasang jaringan).
Alasan yang mereka kemukakan macam-macam. Tidak ada fasilitas lab komputer merupakan salah satu alasan yang dipakai mahasiswa dari luar pulau Jawa. Banyak kuliah pemrograman komputer yang hanya diajarkan dengan cara ditunjukkan cara pemrogramannya oleh dosen yang bersangkutan di kelas tanpa ada praktek. Bagaimana mahasiswanya bisa mengerti tanpa mencoba? Dua pelajaran yang bisa kita petik: harus ada peningkatkan fasilitas di perguruan tinggi di luar pulau Jawa, dan betapa beruntungnya mahasiswa di pulau Jawa (sayang mereka tidak mengerti hal ini dan take it for granted).
Alasan lain yang muncul adalah tidak punya biaya. Betul, tapi ini sebetulnya tidak bisa dijadikan alasan. Mereka dapat mencari cara untuk mencari fasilitas ini dengan gratis. Cari kawan yang kaya dan tempel. Cari kawan / saudara yang punya warnet dan ikutan. Cari laboratorium dan ikutan voluntir. Cari dosen dan ikutan magang mroyek. Banyak jalan menuju Roma. Sayangnya kebanyakan mahasiswa tidak tertarik untuk pergi ke Roma.
Ada lagi alasan karena sibuk kuliah. Nah lho! Nampaknya perguruan tinggi asyik memadatkan kurikulumnya, agar mahasiswa cepat selesai? tapi tanpa melihat efeknya. Percuma mereka cepat selesai akan tetapi tidak terpakai. Bahkan menurut opini saya, ini menjerumuskan mereka karena status mereka bukan lagi sebagai mahasiswa dan mereka dipaksa untuk mencari pekerjaan dengan kemampuan seadanya. Status sebagai mahasiswa ini penting secara psikologis dan praktis. Mahasiswa masih memiliki alasan untuk mengambil kursus-kursus (teknis, Bahasa Inggris) dengan tenang tanpa ada tekanan (dari orang tua dan masyarakat?) untuk cepat-cepat kerja dan menghasilkan uang. Status mahasiswa juga bisa dipakai untuk kerja di lab kampus. Begitu status mahasiswa lepas ... maka sulit bagi mereka untuk melakukan hal itu. Keberatan gelar!
Oh ya lupa. Kemampuan bahasa Inggris rata-rata payah! TEOFL mungkin sekitar 400-an saja. Guys, you have to learn English. I am sorry to say that English is still the de facto communication language out there.
Mudah-mudahan tulisan ini dibaca oleh para mahasiswa dan dosen. Semoga bermanfaat.
Comments
Info anda sangat bermanfaat. Memang saya menduga demikian, hanya segelintir Lulusan PT Indonesia yg sikapnya aktif, innovatif, kreatif. Ini terkait dengan system yg dipakai.
Saya Kamis tgl 13-05-04 ikut serta dalam acara Peluncuran UNISBA Student Career Development, yg dapat bantuan teknis dari SCD-ITB (sekarang namanya Placement Center). Ini langkah yg bagus untuk membuat para mahsiswa mempersiapkan diri dalam karir masa depannya, melalui berbagai aktivitas extra-curriculair, memanfaatkan liburan panjangnya untuk kerja paraktek (saran saya dalam acara tsb, sebab hal ini belum dilakukan oleh SCD-ITB maupun yg lainnya), sehingga membangun Career Portfolio para mahasiswa tsb; disamping sarana Job Seeker/Job Offering.
Semoga hal ini bisa mengimbangi kekurangan2 dalam system pendidikan di Indonesia.
Wassalam,
Sumitro Roestam
http://www.jroller.com/page/sroestam
=======================================
Sedih juga melihatnya, dan kemudian hasilnya bisa kita lihat sendiri.
[ 2 ] Selain itu, ada juga yang kuliah karena kalau kuliah nanti bisa dapat kerja.
Padahal kalau cuma mengandalkan materi kuliah tok, justru siap-siap untuk menjadi pengangguran.
Untuk nomor satu, saya menyalahkan orang tua yang gagal membuat anaknya mempunyai tujuan dalam hidup. Hidup ya cuma sekedar untuk dijalani apa adanya saja. Hasilnya pun ala kadarnya.
Untuk nomor dua, saya kira perlu pencerahan kepada anak-anak kita (oleh tim BP sekolah?), bahwa kuliah itu bukan segalanya. Dunia pasca kuliah itu sangat luas, jadi saat kuliah seharusnya juga dimanfaatkan untuk memperluas wawasan. Banyak bergaul dengan banyak pihak. Mulai jalin networking / koneksi.
Maka mudah-mudahan setelah lulus tidak tergagap-gagap bingung mau apa.
Wassalam,
Harry
-- budi
Saya haru merasa senang ataus edih.. bingung :D
vic
saya masih kuliah dan semester depan uda mau skripsi!!
dan ampe sekarang saya rasa ga dapet apa-apa dari univ
n you know what?! bahasa pemrograman yang dipelajarin n
ada prakteknya
C!!
oh, peleaseee. Itu satu-satunya bahasa pemrograman
yang gape banget.
itu kan ga ada apa-apanya
ada juga si yang dipraktekin kaya delphi, vb,c++,
assembler
tapi cuma asal lewat aja tuh
sedih juga
maaf cuman keluhan saya yang pengen kuliah ...
-wy
---------------------------------------------
Mungkin ada bagusnya lulus cepat (at least minimize cost), tapi kalo hanya lulus dan terkaget-kaget dgn dunia kerja yang wuuiihhh...jauh banget dari perguruan tinggi yang bilang punya metode link and match dengan dunia kerja.
Dulu saya waktu aktif kuliah (now, struggling to graduate form skripsi :( ), pikiran pesimis yang menghantui adalah akan jadi apa setelah punya gelar sarjana ?
Tapi setelah memberanikan diri untuk magang pada salah satu perusahaan internet, mata saya lebih terbuka dan perlahan kemudian menumbuhkan optimisme yang hampir tenggelam. Dengan pekerjaan saya yang sekarang, at least saya bisa one step ahead dari para fresh graduate atau bahkan yang lulusnya sudah lama tapi masih harus belajar yang itu-itu juga.
But one thing for sure : life is a lesson. Bukan berarti setelah bekerja terus kita berhenti belajar. Belajar adalah kewajiban bahkan belajar itu merupakan bagian dari ibadah.
Terakhir...
Doakan saya biar bisa lulus skripsi yah.....
Saya adalah seorang dosen di sebuah universitas di Amerika Serikat. Saya takjub dengan kemauan untuk maju dari orang-orang India. Mereka datang ke sini untuk memperdalam ilmu. Ambil masters dan Ph.D. Biaya itu bukan alasan. Banyak sekali scholarships yang disediakan oleh universitas-universitas di Amrik. Asal mau cari dan menunjukkan kalau anda berbakat, besar kemungkian untuk diterima dan sekolah gratis.
Mana ini yang dari Indonesia? Jangan malas-malasan. Belajar terus. Pendidikan itu nomor satu dan merupakan modal utama untuk memajukan bangsa dan negara.
Ano.
Celakanya, itu adalah mindset utama mahasiswa Indonesia. Pola pikirnya standar banget. Kalo saya nanya sama temen tentang apa cita-citanya ke depan, jawabannya suka saya tulis duluan di kertas, "kerja enak / gaji besar / jadi orang kaya". Dan mereka menyangka cepat lulus dengan IPK tinggi bisa membantu mereka meraih itu semua.
Coba mereka baca tulisan pengantar skripsi saya, "Gelar Sarjana adalah Sampah", dijamin mereka gak mati-matian maksa cepet-cepet lulus & tentunya lebih mentingin skill+relasi.
Saya rasa tidak benar, yang kurang dari kita adalah dukungan dari pihak akademik, dan soal akademik tentunya yang menjadi acuan adalah standarisasi kurikulum yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan. Kalau saja mereka menerapkan program yang contohnya saja kegiatan yang melibatkan mahasiswa tentunya mahasiswa akan mempunyai nilai lebih setelah mereka keluar dari universitas, hanya saja permasalahannya mahasiswa kita kurang bisa memanfaatkan fasilitas yang diberikan.
Untuk uji kepandaian tentunya mahasiswa kita tidak kalah berat dibandingkan dengan lulusan dari luar negeri, buktinya mahasiswa kita sudah banyak yang mendapat beasiswa untuk belajar keluar negeri ;)
Saya rasa tidak benar, yang kurang dari kita adalah dukungan dari pihak akademik, dan soal akademik tentunya yang menjadi acuan adalah standarisasi kurikulum yang diterapkan oleh Departemen Pendidikan. Kalau saja mereka menerapkan program yang contohnya saja kegiatan yang melibatkan mahasiswa tentunya mahasiswa akan mempunyai nilai lebih setelah mereka keluar dari universitas, hanya saja permasalahannya mahasiswa kita kurang bisa memanfaatkan fasilitas yang diberikan.
Untuk uji kepandaian tentunya mahasiswa kita tidak kalah berat dibandingkan dengan lulusan dari luar negeri, buktinya mahasiswa kita sudah banyak yang mendapat beasiswa untuk belajar keluar negeri ;)
Gak perlu heran!!!
Karena sejak di SD diajar oleh guru yang nggak suka baca, di SMP sami mawon, di SMA masih gitu, terus di perguruan tinggi? apalagi!dosen mroyek mulu, diserahin ke asisten yang baru lulus, sedangkan asisten tersebut merupakan produk (out put) yang tadi, jadi ya..begitulah :(
Coba ... kalo.. di SD diajar oleh guru yang suka baca (bukan cuma nyuruh baca tapi benar-benar membaca udah jadi kebutuhan, bukan jago nonton sinetron atau jago gosip). Terus di SMP, SMA, dan PT juga diajar oleh guru & dosen yang gemar baca ..laen dach..hasilnya!!!
Terus perhatiin tuh perpustakaan, jangan cuma ngomong...perpustakaan adalah jantungnya pendidikan TAPI COBA TENGOK dari SD hingga PT perpustakaan kita kayak apa?
Jadi, mendingan seleksi sejak dini, yang jadi guru SD kemampuan bacanya harus 800 kata per menit misalnya, terus guru SMP 850, terus di SMA 900, nah buat dosen 1000 kayaknya cukup!
Udah dulu ah... Bukan begitu Pak Budi . Terima kasih.
Memang benar, itulah kenyataanya. Lulusan PT tidak siap pakai. Tapi satu hal jangan pula kita lupakan, soal fenomena pasar kerja di Indonesia. Pekerjaan sering tidak sesuai dengan latar belakang ilmu/keahlian. Misal seorang lulusan Teknik Sipil berkeja pada bagian marketing, lulusan sastra kerja di bagian teller bank, sarjana pertanian kerja di bagian IT. Yang sepertinya banyak sekali.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana peran yang dimainkan pemerintah dalam mengatur penerimaan/penempatan tenaga kerja. Seperti di Australia, seseorang tidak bisa kerja di bagian ledeng/saluran air kalau bukan dari bidang ilmu/keahlian itu. Seorang bacherlor bidang ekonomi, tidak boleh bekerja di bagian yang menangani hukum, dsb. Perlu ada pengaturan tersendiri. Jangan ladang kesempatan orang diambil begitu saja. Pihak pemakai tenaga kerja mestinya juga menyadari hal ini.
Kalau seperti ini buat apa ada pilihan masuk perguruan tinggi, kalau pada akhir bekerja di lain bidang. Perguruan tinggi hanya sebagai formalitas saja untuk status sosial (salah satu untuk tingkatan penempatan saja pada skala penggajian).
Saya kira ada usul juga dari Pak Budi tentang hal ini.
Wassalam,
Hardi
Kalo ngak ngobyek gaji ngak cukup, semua serba dilema
hayooo gimana ???
salam untuk pak Budi, saya temasuk yang pernah belajar sama bapak. Terimakasih atas semangat yang begitu besar untuk memberikan pencerahan kepada kami...
yang saya alami selama masa kuliah dulu emang begitu (saya angkatan 95, waktu itu)
saya bisa pemrograman(basic,pascal,c,assemby,fortran,cobol,dbase,
foxpro,clipper,dll) semuanya dari otodidak.
dan semuanya sumber ilmu itu saya peroleh dari perpustakaan milik pemerintah DKI(jaksel,jakpus,jakbar), pokoknya semua perpus yg saya tau,langsung saya datangi dan jadi member ditempat tsb.
jadi awal kuliah dulu, kalo bosen dg mata kuliah tertentu, saya langsung bolos pergi ke perpus utk cari buku yg belum saya baca.
hingga pada awal kuliah, nilai saya sempat berantakan, tapi hasilnya membuat saya menguasai semua bahasa program tsb pada akhir semester 2.
dan hasilnya sampai sekarang saya rasakan sekali bila dibanding dengan rekan2 seangkatan lainnya.
jadi sepertinya sistem dunia pendidikan kita emang harus diubah,
lebih keorientasi yang sesungguhnya
- tapi mhsnya saya lihat juga kebanyakan hanya asal kuliah
- dosen asal ngajar dan absen penuh.
- kurikulum terlalu banyak dan padat, mhs yang py keinginan maju tidak punya waktu berimprovisasi
- Tidak bisa berharap pada lingkungan dan sistem, kalo mau maju ya diri sendiri dulu yang ditingkatkan
- Terimakasih pa budi atas artikelnya yang menambah wawasan
Saya pertama kali terjun ke dunia kerja kualitas B.Inggris sama seperti layaknya orang kita :):)
Namun Jangan khawatir modal nekad malah saya sekarang bisa bawa orang dari negara lain termasuk dari amrik sono........ :(
Pada dasarnya mereka menggunakan bahasa untuk menekan kita karena kita kurang paham B. Inggris.
silakan singgah ke airimbang.wordpress.com
Skrg saya udah punya kunci kalo mereka mau buat jail.........
tanya ama mereka potato atau poteto lalu tomato atau tometo.....
ternyata b.Inggris itu basanya orang yang gak konsisten......
Gak bisa bicara tuh Orang inggrisnya..... :( :) :*
salam
arief
car dolly
Btw, mau nanya dong, seberapa besar pengaruh almamater terhadap diterima atau tidaknya di sebuah perusahaan.
Apakah lulusan universitas yg berbau agama tertentu seperti univ muhammadiyah, univ islam atau katolik gitu bisa dengan mudah keterima di negara2 lain?
Terutama untuk kerja di negara maju seperti US yang mana mungkin sangat sensitif dengan SARA.
thanks before buat infonya.
mima